A.
DEFENISI
(TA’RIF)
Lafaz (phrase) "Jarh", menurut muhadditsȋn
ialah sifat seorang râwi yang dapat mencacatkan keadilan dan
kehafalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang râwi
berarti menyifati seorang râwi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan
kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Râwi yang dikatakan
adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama
dan kesaksiannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang râwi,
hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men-ta'dil-kannya.
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritik adanya aib
atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu
Jarh watta'dil". Dr. 'Ajjaj Al-Khathib menta'rifkannya sebagai berikut:
هوا العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dart segi
diterima atau ditolak periwayatannya. "
B.
FAEDAH
ILMU JARH WAT-TA'DIL
Faedah mengetahui Ilmu Jarh wat-Ta'dil itu ialah untuk menetapkan
apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama
sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang
cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat
yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
C.
MACAM-MACAM
KEAIBAN RAWI.
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar
kepada 5 macam saja, yakni:
1. Bid'ah (melakukan tindakan tercela, di luar. ketentuan
syari'at),
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu'l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan
5. Da'wa'l-ingitha' (diduga kerns sanadnya tidak bersambung).
Orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai
itikad (tujuan) berlawanan dengan dasar syari'at. Mukhalafah yang dapat
menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang
rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadits berlawanan
dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan
kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama'kan.
Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan kalau perlawanannya itu
berkesangatan atau rawinya sangat lemah hafalannya, periwayatnnya (hadisnya)
disebut munkar. Ghalath (salah) itu kadang-kadang banyak dan
kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah
diadakan peninjauan mengenal hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau
periwayatnnya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati
dengan ghalath. Maka hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak
salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad) nya. Sedang
apabila tidak didapati selain dengan jalan (sanad) nya hendaklah ditawaqufkan.
Adapun seorang rawi yang disifati dengan sedikit kesalahannya,
seperti lemah hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka
ditetapkan seperti ketentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayat mutabi’at
yang terdapat dalam shahih Bukhari itu lebih banyak daripada riwayat yang terdapat
pada mereka. Jahalatu'l-hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan
untuk diterima hadisnya selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang
telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya,
dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu
ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya (rnenafikannya). Da'wa'l-inqitha'
(pendakwaan terputus) dalam sanad, misalnya mendakwa rawi men-tadlis-kan
atau meng-irsal-kan suatu hadits.
D.
JALAN-JALAN
UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI DAN MASALAH-MASALAHNYA
Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa men-ta'dil-kan
(menganggap adil seorang rawi) ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang
membawa ke-'adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar
penerimaan riwayat. Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu
jari dua ketetapan berikut:
Pertama,
dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa din terkenal sebagai
orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil
kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Al-Tsaury, Syu'bah bin
al-Hajjaj, Al-Syafi'iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh karena mereka sudah
terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak
perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
Kedua,
dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah) Yaitu ditetapkan sebagai rawi
yang adil oleh orang yang adil . yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum
dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah
ini dapat dilakukan oleh:
- Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu
dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta'dilkan. Sebab jumlah itu tidak
menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah
tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi.
Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsȋn. Berlainan dengan
pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang
dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
- Setup orang yang dapat diterima
periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang
merdeka maupun budak selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:
- Berdasarkan berita tentang ketenaran
seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai
orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan
kecacatannya.
- Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang
adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang
dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha
sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki¬-laki yang adil.
E.
SYARAT-SYARAT
BAGI ORANG YANG MEN-TA'DIL-KAN DAN MEN-TAJRIH-KAN
Bagi orang yang men-ta'dil-kan (mu'addil) dan orang yang men-jarh-kan
(Jarih) diperlukan syarat-syarat, yakni:
a.
Berilmu
pengetahuan.
b.
Takwa.
c.
Wara,'
(orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil
dan makruhat-makruhat).
d.
Jujur.
e.
Menjauhi.fanatik
golongan dan
f.
Mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
Lalu muncul pertanyaan, Dapatkah pen-ta'dil-an dan pen-tajrih-an
seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa
men-ta'dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu adakalanya mubham
(tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan
sebab-sebabnya). Untuk mubham ini, diperselisihkan oleh para ulama,
dalam beberapa pendapat:
1)
Men-ta'dil-kan
tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Karena sebab-sebab itu banyak
sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja.
Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan
sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.
Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam mengemukakan sebab jarh,
hingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinannya, tetapi
tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia tercacat atau tidak,
perlu diterangkan sebab sebabnya.
2)
Untuk
ta'dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu.
Karena sebab-sebab men-ta'dil- kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus
diterangkan, sedang men-tajrih-kan tidak.
3)
Untuk
kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
4)
Untuk
kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab, si jarih dan
mu'addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang dianut oleh kebanyakan
Para muhadditsȋn, semisal Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, berapa jumlah orang yang dipandang cukup
untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi. Untuk menjawab pertanyaan
ini kita dapat berpedoman pada pendapat para ulama’ di bawah ini:
1)
Minimal
dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah
pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
2)
Cukup
seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena
bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula
disyaratkan dalam men-ta'dil-kan dan men-tajrih rawi-rawi. Berlainan dalam soal
syahadah.
3)
Cukup
seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun da¬lam soal syahadah.
Adapun kalau ke-'adalah-annya (keadilannya) itu diperoleh
atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka
tidak memerlukan orang yang men-ta'dil-kan (muzakky/mu'addil).
Seperti Malik, As-Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu'l-Mubarak,
Syu'bah, Ishaq dan lain-lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana jika terjadi benturan di
kalangan Ulama dalam hal jarh dan ta'dil ?. Apabila terdapat ta'arudl
antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama
men-ta'dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan dalam
hal ini terdapat 4 pendapat:
1)
Jarh
harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'addil-nya lebih
banyak daripada jarh-nya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai
kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu'addil, dan kalau jarih dapat
membenarkan mu'addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja,
sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu'addil.
Pendapat ini dipegang oleh jumhuru'l-ulama.
2)
Ta'dil harus didahulukan daripada jarh. Karena si jarih dalam
meng-aibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk
men-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi
kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu'addil, sudah barang tentu tidak
serampangan men-ta'dil-kan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang
tepat dan logis.
3)
Bila
jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarih-nya, didahulukan ta'dil.
Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan
untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.
4)
Masih
tetap dalam ke-ta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah
jika jumlah mu'addil-nya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang
antara mu'addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarh itu
sudah merupakan putusan ijma'.
F.
SUSUNAN
LAFAZ-LAFAZ UNTUK MEN-TA'DIL-KAN DAN MEN¬TAJRIH-KAN RAWI
Lafaz-lafaz yang digunakan untuk men-ta'dil-kan dan men-tajrih-kan
rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Shalah dan Imam
Nawawi, lafaz-lafaz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh Al-Dzahaby
dan Al-'Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6
tingkatan, yakni:
a)
Tingkatan
dan Lafaz-lafaz Untuk Men-ta'dil-kan Rawi.
ð Pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan
dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af'alut-tafdil atau
ungkapan yang mengandung pengertian yang sejenis, misalnya:
- Orang yang paling tsiqah (اوثق الناس)
- Orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya (اليه
المنتهى فى الثبت)
- Orang yang tsiqah melebihi orang
yang tsiqah (ثقة
فوق الثقة).
ð Kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat
dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan ke-dlabit-annya, baik sifatnya
yang dibubuhkan itu selafaz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
- Orang yang teguh (lagi) teguh (ثبت ثبت)
- Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (ثقة ثقة)
- Orang yang ahli (lagi) pandai dalam
berargumen (hujjah) (حجة حجة)
- Orang yang teguh (lagi) tsiqah (ثبت ثقة)
- Orang yang kuat ingatannya dan ahli
berargumen (hujjah) (حافظ حجة)
- Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan
ilmunya (ضابظ
متقن).
ð Ketiga, menunjuk keadilan dengan suatu lafaz (phrase) yang
mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
- Orang yang teguh (hati dan lidahnya), (ثبت)
- Orang yang meyakinkan (ilmunya), (متفق)
- Orang yang tsiqah (ثقة)
- Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (حافظ)
- Orang yang hujjah (حجة).
ð Keempat, menunjuk keadilan dan ke-dlabit-an, tetapi dengan lafaz
yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
- Orang yang sangat jujur (صدوق)
- Orang yang dapat memegang amanat (مأمون)
- Orang yang tidak cacat (لابأس به).
ð Kelima, menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya
kedlabithan. Misalnya:
- Orang yang berstatus jujur (محله الصدق)
- Orang yang baik hadisnya (جيد الحديث)
- Orang yang bagus hadisnya (حسن الحديث)
- Orang yang haditsnya berdekatan dengan
hadis-hadis orang lain yang tsiqah (مقارب الحديث).
ð Keenam, menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di
atas yang diikuti dengan lafaz (phrase) "insya Allah", atau
lafadz tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti). atau lafaz itu
dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
- Orang
yang jujur, insya Allah (صدوق
إنشاء الله)
- Orang
yang diharapkan tidak memiliki cacat (فلان أرجو بأن لابأس به)
- Orang
yang sedikit kesalehannya (فلان صويلح)
- Orang
yang di harapkan diterima hadisnya (فلان مقبول حديثه)
Para ahli ilmu menggunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang di-ta'dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan
keempat sebagai hujjah. Sedang hadis-hadis para rawi yang di-ta'dil-kan
menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan
bila dikuatkan oleh hadis dari jalur lain yang perawinya memliki kualitas yang
lebih baik.
b)
Tingkatan
dan Lafaz-lafaz Untuk Men-tajrih Rawi
ð Pertama, menunjuk kepada keterlaluan (bersangatan) si rawi tentang
cacatnya dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk ‘afalut-tafdlil
atau ungkapan lain (seperti shigat muballagah) yang mengandung
pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
- Orang
yang paling dusta (اوضع
الناس)
- Orang
yang paling bohong (اكذب
الناس)
- Orang
yang paling top kebohongannya (اليه المنتقى فى الوضع)
ð Kedua, menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafaz (phrase)
berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
- Orang
yang pembohong (كذاب)
- Orang
yang pendusta (وضاع)
- Orang
yang penipu (دجال)
ð Ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya.
Misalnya:
- Orang
yang dituduh bohong (فلان
منهم بالكذب)
- Orang
yang dituduh dusta (اومهم
بالوضع)
- Orang
yang perlu diteliti (فلان
فيه النظر)
- Orang
yang gugur (فلان
ساقط)
- Orang
yang hadisnya telah hilang (فلان ذاهب الحديث)
- Orang
yang ditinggalkan hadisnya (فلان متروك الحديث)
ð Keempat, menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
- Orang
yang dilempar hadisnya (مطرح
الحديث)
- Orang
yang lemah (فلان
ضعيف)
- Orang
yang ditolak hadisnya (فلان
مردود الحديث)
ð Kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya.
Misalnya:
- Orang
yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya (فلان لايحتج به)
- Orang
yang tidak dikenai identitasnya (فلان مجهول)
- Orang
yang mungkar hadisnya (فلان
منكر الحديث)
- Orang
yang kacau hadisnya (فلان
مضطرب الحديث)
- Orang
yang banyak menduga-duga (فلان واه)
ð Keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya,
tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
- Orang
yang didla'ifkan hadisnya (ضعف حديثه)
- Orang
yang diperbincangkan (فلان
مقال فيه)
- Orang
yang disingkiri (فلان
فيه خلف)
- Orang
yang lunak (فلان لين)
- Orang
yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya (فلان ليس بالحجة)
- Orang
yang tidak kuat (فلان
ليس بالقوى)
Orang-orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai
dengan tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali.
Adapun orang-orang yang di-tajrih menurut tingkatan kelima dan keenam,
hadisnya masih dapat dipakai sebagai i'tibar (tempat membandingkan).
Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil
ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini.
Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan Muhadditsin bahwa para sahabat itu
seluruhnya dipandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima. Dengan
demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wat ta'dii ini ialah
rawi-rawi selain sahabat. Yang perlu diingat adalah apabila kita temui sebagian
ahli jarh dan ta'dil men-jarh-kan seorang rawi, maka kita
tidak perlu segera menerima pen-tajrih-an tersebut, tetapi hendaklah
diselidiki lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang
hebat, kendatipun yang men-tajrih-kan tersebut orang-orang atau ulama-ulama
yang masyhur sekalipun, tidak boleh terus kita terima pen-tajrih-annya.
Sebab kadang-kadang, alasan yang digunakan untuk men-jarh-kannya, setelah
kita adakan penelitian dapat dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.
Hal itu disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain,
ialah si jarih sendiri termasuk orang yang di-tajrih-kan oleh
orang lain, hingga pen-tajrih-annya dan pen-ta'dil-annya tidak harus
segera kita terima selama orang-orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan
yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih termasuk orang yang berkesangatan
(berlebihan) dalam men-tajrih-kan seseorang. Sedang menurut pen-tajrih-an
yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta'dil, lebih
ringan. Para ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama Muhadditsȋn yang
terkenal berkesangatan (sangat ketat) bila men-tajrih seseorang rawi.
Mereka adalah Abu Hatim, A-Nasa'i. Yahya bin Main, Yahya bin Khaththan dan Ibnu
Hibban.
G.
KITAB-KITAB
ILMU JARH WAT-TA'DIL
Para penulis kitab-kitab Jarh wat-Ta'dil berbeda-beda dalam
menyusun buku-bukunva. Sebagian ada yang kecil, yaitu hanya terdiri satu jilid
dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya
menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu
rijalus-sanad (perawi hadis). Di samping itu mereka juga berbeda-beda
dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang hanya menulis tentang
perawi yang dha'if saja, ada yang menulis perawi yang tsiqah
saja, dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain:
1.
Ma'rifatu'r-rijal. Karya Yahya Ibni Ma' in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama
sampai kepada kita. Juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuskrip
(tulisan tangan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
2.
Ad-Dlu'afa'. Karya Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (194 - 252 H.). Kitab
tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3.
At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.). Perlu
diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi.
Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya. Naskah aslinya
diketemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4.
Al-Jarhu
wat-Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Al-Razy
(240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat Ta'dil yang terbesar yang
sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4
jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H. kitab itu
dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai mukadimah, sedang
tiap-tiap jilid yang ash dijadikan dua jilid.
5.
Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748 H.). Kitab
itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biarpun rawi tsiqah diterangkan dan
dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab
yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhir dicetak di Mesir
pada tahun 1325 H. dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang
riyalus-sanad.
6.
Lisanu'l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah
mencakup isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang
penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. ia dicetak di India pada
tahun 1329 - 1331 H. dalam 6 jilid.
H.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, konklusi yang dapat kita tarik adalah yang
dimaksud dengan ilmu Jarh wa Ta’dil yaitu suatu ilmu yang termasuk ke
dalam Ulumul Hadits, yang gunanya adalah mengetahui bagaiamana kualitas
seorang perawi menurut pandangan ulama’ hadis yang sudah memiliki predikat
sebagai kritikus perawi. Akan tetapi, di sini kita dtuntut juga untuk teliti
dan kritis di dalam menetapkan kualitas perawi hadis setelah melihat penilaian
dari para ulama’ hadis terhadap mereka. Sebabnya adalah, karena para ulama’
hadis dalam memberikan kualitas kepada perawi hadis adakalanya mereka
berlebihan dalam men-tajrih-nya dan ada juga yang terlalu berlebihan
dalam men-ta’dil-nya. Di sinilah dituntut kejelian kita dalam menmbang
pendapat para ahli hadis dan ketelitian dalam memberikan predikat/kualitas
perawi hadis.
Demikianlah ulasan singkat seputar ilmu Jarh wa Ta’dil,
masih banyak aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam menila bagaimana
kualitas seorang peraw hadis. Hal ini tentunya bertujuan untuk kita lebih
hati-hati dalam menerima sebuah hadis sebagai landasan dalam menjalan syari’at
Islam, sekian terima kasih dan wassalam.
(Sumber: Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)