PENDAHULUAN
Kehujjahan hadis sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Qur'an
adalah hal yang tidak diragukan lagi. Hadits dipercaya sebagai sumber hukum
terkuat setelah Al-Qur'an, oleh karena keberadaannya yang bersumber pada
pribadi Nabi besar Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam.
Pada tataran realitas, hadis mulai mendapatkan perhatian serius
setelah masa khalifah ke lima Umayah yaitu khalifah Umar Ibnu Abdul ‘Aziz.
Perhatian itu muncul karena kekhawatiran beliau terhadap hilangnya sunnah rasul
dengan semakin banyaknya ‘ulama’ dan sahabat ahli hadis yang meninggal di
medan juang. Di sisi lain wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah luas, oleh
karena itulah khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada para
gubernurnya agar membukukan hadis yang ada para ulama’ di wilayahnya
masing-masing. Oleh karena itu mulai saat itu banyak kemunculan hadis–hadis
yang disandarkan Rasulullah, namun hadis-hadis tersebut bukan hadis Nabi
(hadits Maudlu’), maka para ulama’ melakukan seleksi ketat terhadap
hadis-hadis yang ada. Seleksi itu kemudian melahirkan satu disiplin ilmu yang
kita kenal dengan 'Uluumul Hadits.
Ilmu hadis adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang
cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW, dari segi hal ihwal
para perawinya kedlabitan, keadilan dan dari bersambung tidaknya sanad dan
sebagainya. Ilmu ini kemudian memungkinkan terhadap adanya hadits-hadits yang
bisa digunakan sebagai hujjah (maqbul) dan yang tidak diterima kehujjahan
(mardud). Kajian tentang diterima dan tidaknya kehujjahan hadits melahirkan
pandangan tentang kualitas hadits tersebut dalam pandangan para ulama’. Oleh
karena itu makalah ini akan mencoba membahas seputar “Hadits ditinjau dari segi
kualitasnya”, sebagai sebuah pengantar dalam diskusi pada forum program pasca
sarjana di lingkup STAIN Tulungagung.
PEMBAHASAN
Pembicaraan tentang pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya
ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadits ditinjau dari segi
kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadits mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir
memberikan pengertian kepada yaqin bi-al-alqath’i, bahwa nabi Muhammad SAW
benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan iqrarnya di hadapan para
sahabat. Berbeda dengan hadits ahad yang memberi pengertian dzanny.
Secara umum ulama’ hadits menggolongkan hadits ditinjau dari segi
kualitasnya menjadi dua kelompok, yaitu hadits yang maqbul dan hadits yang
mardud. Hadits yang maqbul digolongkan menjadi hadits shahih dan hasan.
Sedangkan hadits yang mardud digolongkan menjadi hadits dlaif dengan varian
nama serta istilah yang diberikan ulama’ hadits.
Musthofa Azami dalam bukunya Metodologi Kritik Hadits menyatakan
bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hadits ditolak, diantaranya:
1. Adanya cacat pada diri rawi
2. Adanya pertentangan dengan hadits yang lebih kuat
3. Adanya pertentangan dengan akal sehat
4. Dari pernyataan yang bertentangan dengan sabda-sabda kenabian
A.
Hadis
Shahih
‘Ajaj Al-Khatib mengutip pendapat Abu Amr Ibnu Al-Shalah,
mendefinisikan hadits shahih sebagai musnad yang sanadnya muttashil
melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz
dan tidak mua’llal (terkena ilat). Hal senada juga diberikan oleh Hasan
Sulaiman al-Nawawi dalam kitab Ibanatul Ahkam, dengan menambahkan yang
meriwayatkan harus benar-benar rawi yang muslim, baligh, berakal sehat,
mempunyai sifat menjauhi dosa-dosa besar, baik dari kalangan laki-laki maupun
perempuan. Menurut Syuhudi Ismail dengan mengutip pendapat Imam Syafi’i
menjelaskan hadits shahih yaitu, hadits yang sanadnya Muttashil, diriwayatkan
oleh orang yang adil,dlabit, adil, sampai akhir rawi, tidak kemasukan illat dan
syadz.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil satu kesimpulan bahwa
hadits bisa dikatakan sebagai hadits yang shahih, apabila memiliki kriteria
sebagai berikut:
1. Muttashilus Sanad (bersambung sanadnya)
2. Diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil lagi dlabit dari
orang yang adil lagi dlabit pula sampai ujungnya
3. Tidak syadz (janggal)
4. Tidak mua’allal (terkena illat)
Syaikh Umar bin Syaikh Muhammad bin Futuh Addimasqi Al-Syafi’i
dalam ilmu Musthalah Hadits yang terdapat pada kitab ”Taqriirat Mandzumatul
Baiquni” menyebutkan ada lima syarat yang harus ada pada hadits shahih,
yaitu:
1. Bersambung sanad. (ittishal Al-sanad)
2. Selamat dari syadz (Al-salamh min Al-Syududz)
3. Selamat dari illat yang menyacatkan (Al-Salamah min Al-‘illat
Al-Qadihah)
4. Perawinya memilki keadilan dalam periwayatan (‘adlu al-riwayat)
5. Perawinya adalah orang yang dlabith.
Kriteria di atas berimplikasi kepada tidak diterimanya hadits
sebagai hadits shahih apabila berbeda dengan kriteria yang telah disebutkan di
atas. Adapun dengan istilah-istilah di atas yang meliputi:
1.
Muttashil
sanad adalah bersambungnya sanad sampai kepada Rasulullah, sehingga hadits
Munqathi’, mu’dhal, mu’allaq, muddalas dan sejenisnya tidak masuk dalam
muttashil sanad.
2.
Adil
dalam hal ini adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya, dan bebas dari
kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan perawinya.
3.
Dlabit
adalah orang yang benar-benar sadar tidak menerima hadits, paham ketika
mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya.
4.
Syadz
adalah penyimpangan oleh perawi tsiqah terhadap orang yang lebih kuat darinya.
5.
Illat
qadihah adalah illat yang mencacatkannya, seperti memursalkan yang maushul,
memuttashilkan yang munqathi’ atau memarfu’kan yang mauquf ataupun yang
sejenis.
Selanjutnya hadits shahih menurut ‘Ajjaj dibagi menjadi dua, yaitu
shahih Li Dzatihi dan shahih Li- Ghoirihi, shahih Li-Dzathihi adalah hadits
shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, sebagaimana tersebut di
atas. Sedangkan Hadits shahih Lighairihi adalah hadits shahih yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.
Adapun contoh hadits shahih lidzatihi adalah sebagaimana hadits
yang diriwayatkan melalui jalan Al-a’naj dari abu Hurairah:
لَوْلاَ أَنْ اَشَقَّ عَلَ أُمَّتيِ اَوْ عَلَ النَّاسِ
لَأَمَّرْتَهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه البخاري)
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat” (HR. Bukhari)
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat” (HR. Bukhari)
Akan tetapi apabila hadits tersebut ditinjau dari riwayat Muhammad
bin Amr maka, hadits tersebut adalah hadits Shahih Lighoirihi, menurut
Ibnu Al-Shalah. Menurutnya Muhammad bin Amr adalah terkenal sebagai orang
jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadits
riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan, oleh karena ada riwayat lain yang
lebih tsiqah sebagaimana riwayat Bukhari dari jalur Al-A’raj maka hadits hasan
tersebut naik menjadi shahih lighairihi.
Mengenai kehujjahan hadits shahih, maka ulama’ ahli hadits
bersepakat bahwa hadits shahih yang mutawatir merupakan hujjah yang bersifat qathi’i
dan harus diikuti. Adapun hadits shahih yang mutawatir ini biasanya digunakan
oleh para ulama’ di dalam menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah dan
hal-hal yang yang berkaitan dengan persoalan halal dan haram.
Berbeda dengan hadits shahih mutawatir, hadits ahad tidak digunakan
oleh jumhurul Muhadditsin di dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan
akidah. Di sisi lain Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa hadits shahih
memfaedahkan ilmu Qath’i dan wajib diyakini. Oleh sebab itu, setiap hadits
shahih baik yang mutawatir maupun ahad dapat digunakan sebagai hujjah untuk
menetapkan suatu akidah.
Perlu diketahui bahwa martabat hadits ini tergantung kepada
ke-dlabit-an dan keadilan perawinya. Oleh karenanya bisa dipastikan bahwa
semakin dlabit dan adil seorang rawi, maka haditsnya semakin memiliki kualitas
yang tinggi.
Berdasarkan martabat tersebut, Muhadditsin (para ahli hadis)
membagi tingkatan sanad menjadi, beberapa tingkatan yaitu:
1.
Ashah
al-asanid, yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Abu ‘Abdillah
Al-Hakim mengatakan bahwa dasar penetapan “ashah al-asanid” ada yang
mengkhususkan sahabat tertentu dan ada yang mengkhususkan daerah tertentu.
2.
Ashanul
al-asanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya di bawah tingkat pertama
seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Tsabit dan Anas.
3.
Adh’afal
al-asanid, yakni rangkaian sanad hadits yang tingkatannya di bawah tingkatan
kedua, seperti hadits riwayat Suhail bin Abi Shahih dari bapaknya dari Abu
Hurairah.
A.
Hadis
Hasan
Ibnu Hajar sebagaimana dinukil oleh ‘Ajjaj Al-Khatibi
mendefinisikan hadits hasan sebagai Khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi
adil lagi sempurna kedlabitannya muttasil, musnad tanpa syadz dan ‘illat itulah
yang disebut shahih li Dzatihi. Bila kedlabitannya kurang, maka itulah yang
disebut Hasan Lidzatihi. “Ajjaj sendiri mendefinisikan hadits hasan sebagai
hadits yang muttasihil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih
rendah kedlabitannya tanpa syadz dan tanpa ‘illat. Di samping itu adapula yang
mengatakan bahwa hadits hasan yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
tingkat hafalannya lebih rendah dibandingkan rawi hadits shahih.
Dari beberapa definisi hadits hasan di atas dapat diambil titik
temu bahwa hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung kepada
Rasulullah, diriwayatkan oleh seorang yang adil namun memiliki tingkat
kedlabitan di bawah perawi hadits shahih serta selamat dari syadz dan ‘illat.
Hadits hasan dibagi menjadi dua macam yaitu Hasan Lidzatihi
dan Hasan Lighairihi, Hasan Lidzatihi adalah hadits hasan yang
kehasan-nannya muncul dari dalam hadits tersebut karena memenuhi syarat-syarat
tertentu bukan karena berasal dari luar dirinya. Sedangkan hadits hasan
lighairihi adalah hadits yang di dalamnya terdapat perawi “mastur” yang
belum jelas kualitasnya, tetapi bukanlah perawi yang pelupa atau sering
melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan muttahom bil al-kidzb dalam
hadits juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkannya tergolong fasik,
dengan syarat mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang mu’tabar, baik
berstatus mutabi’ maupun syahid.
Dengan demikian, hadits hasan Lighairihi mulanya merupakan hadits
dhaif, yang naik menjadi hasan karena ada penguat, seandainya tidak ada penguat,
tentu masih berstatus dhoif. Demikian pula, sebagaimana hadits hasan
lighairihi, hadits hasan lidzatihi bisa menjadi naik kualitasnya menjadi shahih
lighairihi. Perubahan status ini juga di dasarkan karena adanya penguat dari
perawi yang lain.
Mengenai kehujjahan hadits hasan, maka para ‘ulama hadits
berpendapat bahwa hadits hasan dapat dijadikan hujjjah dan diamalkan
sebagaimana hadits sahih. Namun tingkat kehujjahannya berada di bawah hadits shahih
sehingga apabila ditemukan kontradiksi antara hadits hasan dan shahih, maka
hadits shahih harus lebih didahulukan.
B.
Hadis
Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memiliki syarat-syarat bisa
di terima. Hasan Sulaiman menyatakan bahwa hadits dho’if adalah hadits yang
derajatnya di bawah hadits hasan, artinya hadits yang dalam persyaratannya
kurang memenuhi menjadi hadits hasan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
hadits dho’if adalah jenis hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
diterima sebagai hadits hasan. Jenis hadits ini sangat banyak sekali. Menurut
keterangan Shubhi As-Shalih terdapat 381 macam bentuk yang kebanyakan tidak
aktual dan tidak menunjukkan ciri-ciri terentu, di antara macam hadits dho’if
yang disitilahkan oleh para ahli hadits adalah sebagai berikut:
1.
Hadis
Mursal
Hadis mursal ialah hadits yang di marfu’kan oleh seorang
tabi’i kepada Rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik
tabi’i itu kecil atau besar. Sebagian ulama’ memberikan batasan bahwa hadits
mursal adalah yang marfu’kan oleh tabi’i besar saja. Karena umumnya periwayatan
tabi’i besar adalah dari sahabat. Sebagian ahli hadits tidak menilai hadits
yang dimursalkan oleh tabi’i kecil sebagai hadits mursal, tetap hadits munqathi’.
Sedang menurut ulama’fiqih dan ushul hadits mursal adalah hadits
yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil
riwayatnya, dari sini tampak bahwa hadits mursal menyandarkan hadisnya pada
Rasulullah, akan tetapi di dalamnya tidak disebutkan siapa sahabat yang
menerima hadits tersebut dari rasul. Sehingga dalam hadits ini dijumpai sanad
yang tidak berkesinambungan. Oleh sebab inilah hadits ini masuk ke dalam hadits
dha’if.
Dalam hal kehujjahan, maka hadits mursal tidak boleh dijadikan
hujjah dalam agama. Pandangan ini dipegang oleh para penghafal hadits dan para
kritikus hadits. Di sisi lain mayoritas ulama’ berhujjah dengan hadits-hadits
mursal sahabat. Mereka tidak menganggap hadits tersebut dha’if karena sahabat
yang meriwayatkan sudah dianggap benar-benar menerima dari nabi.
2.
Hadis
Munqathi’
Adalah hadis yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu
tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari
segi gugurnya rawi ialah sama dengan hadits mursal. Hanya saja kalau hadits
mursal gugurnya perawi di batasi di tingkatan sahabat, sementara dalam hadits
mungqathi’ tidak ada batasan.
Contoh hadis yang gugur dari sanadnya menggugurkan rawinya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozak dan Ats-Tsani dari Abu Ishaq dari
Zain bin Yutsayi dari Hudzaifah yang meriwayatkan secara marfu “jika kalian
serahkan urusan kekhalifahan kepada Abu Bakar misalnya kalian akan mendapatkan
orang yang kuat lagi terpercaya”.
Dari sanad Hadist ini, antara Ats Tsani dan abu Ishaq ada perawi
yang di gugurkan, yaitu syarik. Sebab Ats Tsani tidak mendengar hadist ini
secara langsung dari Abu Ishaq melainkan lewat Syarik dan Syarik inilah yang
mendengar hadist dari Abu Ishaq.
3.
Hadis
Mu’dhal
Hadis mu’dhal yaitu hadits yang dari sanadnya gugur dua atau
lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah hadist yang di
mursalkan oleh tabi’at-tabi’iy. Hadist ini sama, bahkan lebih rendah dari
hadist munqathi’, sama dari segi keburukan kualitasnya, bila kemunqathi’annya
lebih dari satu tempat.
Diriwayatkan dari sebagian ahli hadist perkataan para penulis fiqh:
Rasulullah SAW. Bersabda begini” termasuk mu’dhal. Karena di antara penulis itu
dengan Rasulullah SAW terhadap dua atau lebih perawi. Padahal sebagian besar
penulis fiqh ada pada masa-masa sesudah abad tabi’in.
4.
Hadist
Mudallas
Adalah hadist yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan,
bahwa bahwa hadist itu tiada bernoda. Hadist Mudallas di bagi menjadi dua, tadlis
isnad dan tadlis suyukh.
Tadlis Isnad, Ialah hadist
yang disampaikan oleh seorang perawi dengan orang semasa dengannya dan ia
bertemu sendiri dengan orang itu, meskipun ia tidak bisa mendengar langsung
darinya, antar orang yang sama dengannya, tetapi tidak pernah bertemu dan ia
menciptakan gambaran bahwa ia mendengar langsung dari orang tersebut.
Misalnya perkataan Ali bin Khasaram, kami sedang berada di dekat
Sufyan bin Uyainah. Ia berkata, Az-zuhri berkata demikian, lalu ia tanya,
adalah engkau mendengar ini dari Az-zuhri? Sufyan menjawab yang menceritakan
kepadaku adalah Abdurrahman yang menerima dari Ma’mun dari Az-Zuhri. Jadi
Sufyan hidup semasa dengan Az-zuhri dan pernah bertemu, tetapi ia tidak
mengambil langsung dari Az-Zuhri, tetapi ia menutip dari Abdur Rozaq. Sedang
Abdur Rozak mengutip dari Ma’mun dan Ma’mun meriwayatkan dari Az-Zuhri.
Tadlis Syuyukh, Bila
seseorang perawi meriwayatkan hadist dari seorang guru dengan menyebutkan gelar
atau nama panggilannya, nama keturunannya atau memeberikan sifat-sifat yang
baik pada gurunya.
Misalnya pernyataan Abu Bakar Ibnu Mujahid al-Muqri bahwa telah
meriwayatkan kepada kami Abdullah ibnu Abi Abdillah, yang dimaksudkannya adalah
Abdullah Abi Daud As-Sijistani, pemilik as-sunah Abu Daud terkenal dengan nama
kunyahnya seperti itu bukan dengan Abu Abdillah.
5.
Hadis
Mua’lal
Yaitu hadis yang tersingkap di dalamnya, illah Qadilah,
meski lahiriahnya tampak terbebas darinya. Illat tersebut kadang di temukan
pada sanad, kadang di temukan pada matan, kadang juga di temukan pada sanad dan
matan sekaligus.
Ada
6 kategori hadis yang termasuk hadis jenis ini yaitu:
1.
Hadis
Mudla’af adalah hadits yang tidak di sepakati kedha’ifannya.
2.
Hadis
Mutharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang
saling berbeda yang tidak mungkin.
3.
Hadis
Maqlub adalah suatu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri
perawi mengenai matannya, nama salah satu rawi dan sanadnya atau suatu sanad
untuk matan lainnya.
4.
Hadis
Syadz adalah bisa di antara perawi tsiqoh ada diantara mereka yang menyimpan
diri lainnya.
5.
Hadis
Munkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dla’if yang berbeda
dengan perawi-perawi (lain) yang tsiqoh.
6.
Hadis
Matruk dan Matruh
Hadis Matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang Muttaham bi al-kidzbi (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits
nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya.
Hadis Matruh
yakni hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh
berdusta dalam hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta dalam selain hadits.
KESIMPULAN
Pembagian
hadits dilihat dari segi kualitasnya, dituangkan dalam bentuk skema di bawah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI Qur’an Hadits,
(Jakarta:Depag RI, 2002).
Hasan Sulaiman-Alwi
Abas, Ibanatul Ahkam, Juz 1 (Surabaya: Al-Hidayah, tt.).
M. Azami, Memahami
Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 2003).
M. Mustofa Azami, Metodologi
Kritik Hadits, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) .
M. Syuhudi Ismail,
Kaidah Keshahihan Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
M.’Ajjaj Al-Khatib, Ushul
Al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998) Terjemah Qadinun Nur dkk, Cet 1.
Munzier Suparta, Ilmu
Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003).
Umar bin Muhammad bin
Fatah ,Taqrirat Mandzumatul Baiquni, (htp,tt.).
Muhammad Ahmad, M.
Muzdakir, Ulum al- Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. II.
(Sumber: Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
0 komentar:
Posting Komentar