Search

http://www.lintasberita.web.id/
Kami tunggu komentar-komentar anda (bebas tapi sopan)

Pages

Jumat, 04 Mei 2012

SERBA-SERBI ILMU JARH DAN TA’DIL


A.    DEFENISI (TA’RIF)
Lafaz (phrase) "Jarh", menurut muhadditsȋn ialah sifat seorang râwi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang râwi berarti menyifati seorang râwi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Râwi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan kesaksiannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang râwi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men-ta'dil-kannya.
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritik adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh watta'dil". Dr. 'Ajjaj Al-Khathib menta'rifkannya sebagai berikut:
هوا العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dart segi diterima atau ditolak periwayatannya. "
 B.    FAEDAH ILMU JARH WAT-TA'DIL
Faedah mengetahui Ilmu Jarh wat-Ta'dil itu ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

C.     MACAM-MACAM KEAIBAN RAWI.
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam saja, yakni:
1. Bid'ah (melakukan tindakan tercela, di luar. ketentuan syari'at),
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu'l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan
5. Da'wa'l-ingitha' (diduga kerns sanadnya tidak bersambung).
 
Orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai itikad (tujuan) berlawanan dengan dasar syari'at. Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadits berlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama'kan. Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan kalau perlawanannya itu berkesangatan atau rawinya sangat lemah hafalannya, periwayatnnya (hadisnya) disebut munkar. Ghalath (salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenal hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatnnya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath. Maka hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad) nya. Sedang apabila tidak didapati selain dengan jalan (sanad) nya hendaklah ditawaqufkan.
Adapun seorang rawi yang disifati dengan sedikit kesalahannya, seperti lemah hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka ditetapkan seperti ketentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayat mutabi’at yang terdapat dalam shahih Bukhari itu lebih banyak daripada riwayat yang terdapat pada mereka. Jahalatu'l-hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima hadisnya selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya (rnenafikannya). Da'wa'l-inqitha' (pendakwaan terputus) dalam sanad, misalnya mendakwa rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.

D.    JALAN-JALAN UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI DAN            MASALAH-MASALAHNYA
 
Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa men-ta'dil-kan (menganggap adil seorang rawi) ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa ke-'adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat. Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu jari dua ketetapan berikut:

Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa din terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Al-Tsaury, Syu'bah bin al-Hajjaj, Al-Syafi'iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.

Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah) Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil . yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
  1. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta'dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsȋn. Berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
  2. Setup orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:
  1. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
  2. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki¬-laki yang adil.
 
E.    SYARAT-SYARAT BAGI ORANG YANG MEN-TA'DIL-KAN DAN MEN-TAJRIH-KAN
Bagi orang yang men-ta'dil-kan (mu'addil) dan orang yang men-jarh-kan (Jarih) diperlukan syarat-syarat, yakni:
a.       Berilmu pengetahuan.
b.      Takwa.
c.       Wara,' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
d.      Jujur.
e.       Menjauhi.fanatik golongan dan
f.       Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
Lalu muncul pertanyaan, Dapatkah pen-ta'dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa men-ta'dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu adakalanya mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Untuk mubham ini, diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat:
1)      Men-ta'dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinannya, tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia tercacat atau tidak, perlu diterangkan sebab sebabnya.
2)      Untuk ta'dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta'dil- kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang men-tajrih-kan tidak.
3)      Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
4)      Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab, si jarih dan mu'addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang dianut oleh kebanyakan Para muhadditsȋn, semisal Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, berapa jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi. Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat berpedoman pada pendapat para ulama’ di bawah ini:
1)      Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
2)      Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta'dil-kan dan men-tajrih rawi-rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3)      Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun da¬lam soal syahadah.
Adapun kalau ke-'adalah-annya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak memerlukan orang yang men-ta'dil-kan (muzakky/mu'addil). Seperti Malik, As-Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu'l-Mubarak, Syu'bah, Ishaq dan lain-lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana jika terjadi benturan di kalangan Ulama dalam hal jarh dan ta'dil ?. Apabila terdapat ta'arudl antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta'dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat:
1)      Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarh-nya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu'addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu'addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu'addil. Pendapat ini dipegang oleh jumhuru'l-ulama.
2)      Ta'dil harus didahulukan daripada jarh. Karena si jarih dalam meng-aibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk men-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu'addil, sudah barang tentu tidak serampangan men-ta'dil-kan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3)      Bila jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarih-nya, didahulukan ta'dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.
4)      Masih tetap dalam ke-ta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu'addil-nya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu'addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarh itu sudah merupakan putusan ijma'.

F.    SUSUNAN LAFAZ-LAFAZ UNTUK MEN-TA'DIL-KAN DAN MEN¬TAJRIH-KAN RAWI
Lafaz-lafaz yang digunakan untuk men-ta'dil-kan dan men-tajrih-kan rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Shalah dan Imam Nawawi, lafaz-lafaz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh Al-Dzahaby dan Al-'Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni:
a)      Tingkatan dan Lafaz-lafaz Untuk Men-ta'dil-kan Rawi.
ð  Pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af'alut-tafdil atau ungkapan yang mengandung pengertian yang sejenis, misalnya:
  1. Orang yang paling tsiqah (اوثق الناس)
  2. Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (اليه المنتهى فى الثبت)
  3. Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (ثقة فوق الثقة).
ð  Kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan ke-dlabit-annya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafaz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
  1. Orang yang teguh (lagi) teguh (ثبت ثبت)
  2. Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (ثقة ثقة)
  3. Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (حجة حجة)
  4. Orang yang teguh (lagi) tsiqah (ثبت ثقة)
  5. Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (حافظ حجة)
  6. Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (ضابظ متقن).
ð  Ketiga, menunjuk keadilan dengan suatu lafaz (phrase) yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
  1. Orang yang teguh (hati dan lidahnya), (ثبت)
  2. Orang yang meyakinkan (ilmunya), (متفق)
  3. Orang yang tsiqah (ثقة)
  4. Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (حافظ)
  5. Orang yang hujjah (حجة).
ð  Keempat, menunjuk keadilan dan ke-dlabit-an, tetapi dengan lafaz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
  1. Orang yang sangat jujur (صدوق)
  2. Orang yang dapat memegang amanat (مأمون)
  3. Orang yang tidak cacat (لابأس به).
ð  Kelima, menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabithan. Misalnya:
  1. Orang yang berstatus jujur (محله الصدق)
  2. Orang yang baik hadisnya (جيد الحديث)
  3. Orang yang bagus hadisnya (حسن الحديث)
  4. Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah (مقارب الحديث).
ð  Keenam, menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafaz (phrase) "insya Allah", atau lafadz tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti). atau lafaz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
  1. Orang yang jujur, insya Allah (صدوق إنشاء الله)
  2. Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (فلان أرجو بأن لابأس به)
  3. Orang yang sedikit kesalehannya (فلان صويلح)
  4. Orang yang di harapkan diterima hadisnya (فلان مقبول حديثه)
Para ahli ilmu menggunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta'dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadis-hadis para rawi yang di-ta'dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadis dari jalur lain yang perawinya memliki kualitas yang lebih baik.
b)      Tingkatan dan Lafaz-lafaz Untuk Men-tajrih Rawi
ð  Pertama, menunjuk kepada keterlaluan (bersangatan) si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk ‘afalut-tafdlil atau ungkapan lain (seperti shigat muballagah) yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
  1. Orang yang paling dusta (اوضع الناس)
  2. Orang yang paling bohong (اكذب الناس)
  3. Orang yang paling top kebohongannya (اليه المنتقى فى الوضع)
ð  Kedua, menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafaz (phrase) berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
  1. Orang yang pembohong (كذاب)
  2. Orang yang pendusta (وضاع)
  3. Orang yang penipu (دجال)
ð  Ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
  1. Orang yang dituduh bohong (فلان منهم بالكذب)
  2. Orang yang dituduh dusta (اومهم بالوضع)
  3. Orang yang perlu diteliti (فلان فيه النظر)
  4. Orang yang gugur (فلان ساقط)
  5. Orang yang hadisnya telah hilang (فلان ذاهب الحديث)
  6. Orang yang ditinggalkan hadisnya (فلان متروك الحديث)
ð  Keempat, menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
  1. Orang yang dilempar hadisnya (مطرح الحديث)
  2. Orang yang lemah (فلان ضعيف)
  3. Orang yang ditolak hadisnya (فلان مردود الحديث)
ð  Kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
  1. Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya (فلان لايحتج به)
  2. Orang yang tidak dikenai identitasnya (فلان مجهول)
  3. Orang yang mungkar hadisnya (فلان منكر الحديث)
  4. Orang yang kacau hadisnya (فلان مضطرب الحديث)
  5. Orang yang banyak menduga-duga (فلان واه)
ð  Keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
  1. Orang yang didla'ifkan hadisnya (ضعف حديثه)
  2. Orang yang diperbincangkan (فلان مقال فيه)
  3. Orang yang disingkiri (فلان فيه خلف)
  4. Orang yang lunak  (فلان لين)
  5. Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya (فلان ليس بالحجة)
  6. Orang yang tidak kuat (فلان ليس بالقوى)
Orang-orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai i'tibar (tempat membandingkan).
Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan Muhadditsin bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima. Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wat ta'dii ini ialah rawi-rawi selain sahabat. Yang perlu diingat adalah apabila kita temui sebagian ahli jarh dan ta'dil men-jarh-kan seorang rawi, maka kita tidak perlu segera menerima pen-tajrih-an tersebut, tetapi hendaklah diselidiki lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendatipun yang men-tajrih-kan tersebut orang-orang atau ulama-ulama yang masyhur sekalipun, tidak boleh terus kita terima pen-tajrih-annya. Sebab kadang-kadang, alasan yang digunakan untuk men-jarh-kannya, setelah kita adakan penelitian dapat dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.
Hal itu disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain, ialah si jarih sendiri termasuk orang yang di-tajrih-kan oleh orang lain, hingga pen-tajrih-annya dan pen-ta'dil-annya tidak harus segera kita terima selama orang-orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih termasuk orang yang berkesangatan (berlebihan) dalam men-tajrih-kan seseorang. Sedang menurut pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta'dil, lebih ringan. Para ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama Muhadditsȋn yang terkenal berkesangatan (sangat ketat) bila men-tajrih seseorang rawi. Mereka adalah Abu Hatim, A-Nasa'i. Yahya bin Main, Yahya bin Khaththan dan Ibnu Hibban.

G.    KITAB-KITAB ILMU JARH WAT-TA'DIL
 
Para penulis kitab-kitab Jarh wat-Ta'dil berbeda-beda dalam menyusun buku-bukunva. Sebagian ada yang kecil, yaitu hanya terdiri satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu rijalus-sanad (perawi hadis). Di samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang hanya menulis tentang perawi yang dha'if saja, ada yang menulis perawi yang tsiqah saja, dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain:
1.      Ma'rifatu'r-rijal. Karya Yahya Ibni Ma' in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuskrip (tulisan tangan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
2.      Ad-Dlu'afa'. Karya Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (194 - 252 H.). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3.      At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi. Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4.      Al-Jarhu wat-Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Al-Razy (240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat Ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H. kitab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai mukadimah, sedang tiap-tiap jilid yang ash dijadikan dua jilid.
5.      Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748 H.). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biarpun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
6.      Lisanu'l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah mencakup isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. ia dicetak di India pada tahun 1329 - 1331 H. dalam 6 jilid.


H.    KESIMPULAN
 
Dari pemaparan di atas, konklusi yang dapat kita tarik adalah yang dimaksud dengan ilmu Jarh wa Ta’dil yaitu suatu ilmu yang termasuk ke dalam Ulumul Hadits, yang gunanya adalah mengetahui bagaiamana kualitas seorang perawi menurut pandangan ulama’ hadis yang sudah memiliki predikat sebagai kritikus perawi. Akan tetapi, di sini kita dtuntut juga untuk teliti dan kritis di dalam menetapkan kualitas perawi hadis setelah melihat penilaian dari para ulama’ hadis terhadap mereka. Sebabnya adalah, karena para ulama’ hadis dalam memberikan kualitas kepada perawi hadis adakalanya mereka berlebihan dalam men-tajrih-nya dan ada juga yang terlalu berlebihan dalam men-ta’dil-nya. Di sinilah dituntut kejelian kita dalam menmbang pendapat para ahli hadis dan ketelitian dalam memberikan predikat/kualitas perawi hadis.
Demikianlah ulasan singkat seputar ilmu Jarh wa Ta’dil, masih banyak aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam menila bagaimana kualitas seorang peraw hadis. Hal ini tentunya bertujuan untuk kita lebih hati-hati dalam menerima sebuah hadis sebagai landasan dalam menjalan syari’at Islam, sekian terima kasih dan wassalam.

(Sumber: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

0 komentar:

Popular Posts